Beranda | Artikel
Fiqih Qurban di Masa Pandemi (Download Ebook)
Minggu, 26 Juli 2020

FIQIH QURBAN DI MASA PANDEMI

Oleh:
Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
(DOWNLOAD PDF)
 

Keutamaan-Keutamaan Berqurban

Berqurban Adalah Ibadah yang Agung

Menyembelih hewan qurban adalah ibadah yang sangat agung. Oleh karenanya, disebutkan pada beberapa ayat di dalam Al-Quran tentang ibadah ini. Di antaranya Allah ﷻ menyebutkan bahwa ibadah ini adalah ibadah yang berlaku kepada seluruh umat-umat. Bukan hanya kepada umat Islam saja, namun juga kepada umat-umat terdahulu, sebagaimana di sebutkan dalam firman Allah ﷻ,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

“Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. Al-Hajj: 34)

Firman Allah ﷻ tersebut menjelaskan bahwa ternyata menyembelih untuk Allah ﷻ, bukanlah ibadah yang dikhususkan bagi umat Islam saja. Bahkan, seluruh umat-umat terdahulu pun disyariatkan untuk beribadah dengan menyembelih untuk Allah ﷻ. Sebagai contohnya adalah Allah ﷻ berfirman menyebutkan tentang kisah anak-anak nabi Adam ‘alaihissalam,

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ

“Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima.” (QS. Al-Ma’idah: 27)

Begitu juga dengan asal muasal syariat ibadah ini, yang merupakan syariat dari nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Ketika beliau ‘alaihissalam diuji oleh Allah ﷻ untuk menyembelih puteranya Ismail ‘alaihissalam, kemudian Allah ﷻ menebus dan menggantikannya dengan seekor kambing. Peristiwa itu kemudian diabadikan pada hari raya ‘idul Adha. Allah ﷻ berfirman,

وَفَدَيْناهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. As-Saffat: 107)

Ibadah ini sudah menjadi syariat setiap umat. Bahkan, dikenal juga di dalam syariat Yahudi dan Nashara. Syiar ibadah menyembelih hewan ini, bukan hanya dilakukan oleh umat-umat yang menyembah Allah ﷻ saja. Bahkan, merupakan syiar bagi orang-orang yang melakukan kesyirikan, dimana mereka menyembelih untuk selain Allah ﷻ, mereka menyembelih untuk jin, syaithan maupun roh-roh nenek moyang mereka. Jadi, menyembelih ini adalah suatu ibadah yang diakui oleh semua manusia, hanya saja di antara mereka ada yang berlaku kesyirikan dengan mempersembahkannya kepada selain Allah ﷻ. Padahal, yang benar adalah seharusnya mereka tidak menyembelih kecuali untuk Allah ﷻ semata. Dari sini kita tahu bahwa ibadah menyembelih hewan qurban untuk Allah ﷻ atau udhhiyah merupakan syiar dari tauhid. Maka dari itu, Allah melanjutkan di dalam firman-Nya,

لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ

“Agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa.” (QS. Al-Hajj: 34)

Inilah syiar tauhid, jika ada seseorang yang menyembelih karena Allah ﷻ, artinya dia sedang mengagungkan ketauhidan kepada Allah ﷻ.

Berqurban Adalah Bukti Syukur Kepada Allah

Beribadah kepada Allah ﷻ dengan menyembelih hewan qurban karena Allah ﷻ adalah salah satu bukti syukur kepada-Nya. Maka dari itu, Allah ﷻ menurunkan ayat-Nya yang disebutkan di dalam surah Al-Kautsar,

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ.

“Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).” (QS. Al-Kausar: 1-3)

Pada ayat inilah, Allah ﷻ menunjukkan betapa agungnya ibadah menyembelih karena Allah ﷻ.  الْكَوْثَرَ adalah sungai di surga yang Allah anugerahkan kepada nabi Muhammad ﷺ. Para ulama mengatakan bahwa sebagai bukti syukur Nabi Muhammad ﷺ, Allah ﷻ memberikan kepada Nabi ﷺ anugerah berupa telaga Al-Kautsar. Bukti syukur beliau adalah dengan dua ibadah yang sangat agung, yaitu salat dan menyembelih (berqurban). Saking agungnya ibadah ini, Allah ﷻ menggandengkannya dengan salat sekaligus. Ibadah yang menjadi bukti bahwa hamba tersebut bersyukur kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,

لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ

“Agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. Al-Hajj: 34)

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.”  (QS. Al-An’am: 162

Melakukan Sedekah dengan Berqurban

Di antara keutamaan menyembelih hewan qurban karena Allah ﷻ adalah seseorang dapat bersedekah. Di dalam syariat penyembelihan atau berqurban, sejatinya orang yang berqurban (mudhahhi) juga melakukan sedekah, karena sebagian dari daging tersebut disedekahkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Allah ﷻ juga menyebutkan bahwasanya menyembelih untuk Allah ﷻ adalah suatu bentuk ketakwaan kepada-Nya. Allah ﷻ berfirman,

لَنْ يَنالَ اللَّهَ لُحُومُها وَلا دِماؤُها وَلكِنْ يَنالُهُ التَّقْوى مِنْكُمْ كَذلِكَ سَخَّرَها لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلى ما هَداكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demi-kianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj: 37)

Oleh karenanya, di antara bukti ketakwaan adalah Allah ﷻ menamakan amalan ibadah berupa menyembelih hewan qurban yang ikhlas kepada Allah ﷻ menjadi salah satu bentuk ketakwaan kepada Allah ﷻ.

Semua keutamaan-keutamaan ini cukup untuk membangkitkan semangat kita untuk berqurban. Apabila kita memiliki kelebihan rezeki, hendaknya kita menyembelih sesembelihan untuk Allah ﷻ. Untuk mengamalkan ibadah ini bagi orang yang memiliki rezeki tidaklah begitu berat, karena amalan itu hanyalah ibadah yang dilakukan sekali dalam setahun. Di antaranya dengan berqurban dengan satu kambing dapat mewakili satu keluarga.

Hukum-Hukum Seputar Udhhiyah

Hewan-hewan Sesembelihan (الذَّبَائِح)

Di dalam Islam     ada beberapa jenis hewan-hewan sesembelihan karena Allah ﷻ, di antaranya adalah:

  1. الدَّم (Dam), yaitu hewan ternak yang disembelih di tanah haram pada saat melaksanakan haji atau umrah. Dam dibagi menjadi dua, yaitu:
  2. دَمُ الشُّكْر (sesembelihan karena bersyukur), seperti : دَمُ التَّمَتُّع berupa al-hadyu/dam tamattu’ dan دَمُ الْقِرَان berupa al-hadyu/dam qiran.
  3. دَمُ الْجُبْرَان (sesembelihan karena pelanggaran), disebut dengan الْفِدْيَة (tebusan)
  4. الْعَقِيْقَة (aqiqah) hewan ternak yang disembelih sebagai bentuk ungkapan syukur atas kelahiran anak
  5. الأُضْحِيَّة (hewan qurban) sesembelihan yang dilakukan pada saat selesai salat ‘idul Adha, tanggal 10 Dzulhijjah([1]).

Perincian dalam pembahasan ini sangatlah banyak. Hanya saja, penulis menyebutkan tiga hal tersebut, karena secara umum semua syarat-syaratnya sama.

Hewan Qurban (الأُضْحِيَّة)

Ada beberapa hadis yang berhubungan dengan keutamaan menyembelih hewan qurban, tetapi hadis tersebut dha’if. Di antara contohnya adalah seperti hadis yang disebutkan bahwa sesembelihan yang kalian sembelih akan menjadi tunggangan seseorang melewati shirath menuju surga([2]). Jika hadis ini sahih, tentunya seseorang akan berusaha mencari kambing atau hewan sesembelihan terbesar agar dia bisa menaikinya pada hari kiamat kelak. Begitu juga disebutkan di dalam hadis bahwasanya jika seseorang mampu menyembelih, maka setiap rambut dari hewan tersebut akan menjadi kebaikan, tetapi hadis ini dha’if([3]). Adapun riwayat-riwayat yang sahih adalah seperti yang telah disebutkan sebelumnya tentang keutamaan-keutamaan menyembelih.

Di masa pandemi atau masa-masa sulit yang semisal dengannya dan bertepatan dengan hari raya ‘idul Adha, manakah yang lebih utama bagi seseorang jika dia memiliki uang, apakah lebih baik menyembelih hewan qurban ataukah cukup bersedekah dan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan?

Mengingat banyak kebutuhan yang harus diperhatikan bagi setiap orang. Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini bahwasanya yang lebih utama adalah menyembelih hewan qurban. Berdasarkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, Nabi ﷺ bersabda,

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ

“Tidaklah anak Adam mengamalkan satu amalan pada hari penyembelihan -tanggal 10 Dzulhijjah- yang dicintai Allah dari pada menumpahkan darah (menyembelih).”([4])

Inilah amalan yang dicintai oleh Allah ﷺ. Sejatinya, di dalam penyembelihan ada dua ibadah yang kita lakukan, yaitu ibadah menyembelih dan ibadah sedekah. Setelah hewan qurban tersebut disembelih, maka hasil sesembelihan tersebut akan disedekahkan. Berbeda dengan ibadah sedekah, karena ibadah sedekah tidak harus didahului dengan menyembelih. Oleh karenanya, pertama kita katakan bahwasanya menyembelih hewan qurban lebih utama disebabkan dua hal;

Pertama, karena dia menggabungkan antara menyembelih dan dagingnya dapat disedekahkan.

Kedua, karena ibadah ini memiliki waktu yang terbatas, yaitu hanya pada tanggal 10 Dzulhijjah dan hari tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah). Adapun sedekah memiliki waktu yang lapang, kapan saja seseorang hendak bersedekah, maka tidak waktu yang membatasinya. Jadi, dengan melihat kondisi demikian, maka ibadah menyembelih hewan qurban di waktu pandemi  atau waktu-waktu sulit yang sejenisnya adalah amalan yang lebih baik.

Disebutkan di dalam sebuah  fatwa bahwa amalan ibadah yang lebih baik di musim pandemi yang bertepatan dengan hari ‘idul Adha adalah bersedekah dari pada berqurban. Tentu saja hal ini bermanfaat, namun jika dilihat dari sisi fiqh, maka di antara kedua amalan tersebut yang lebih utama adalah menyembelih hewan qurban, karena banyak keuatamaan-keutamaan yang dapat dia raih.

Hukum Menyembelih/Berqurban

Terdapat khilaf di antara ulama pada permasalahan ini. Secara umum, ada dua pendapat, yaitu wajib dan sunah. Permasalahan hukum wajib dan sunahnya ibadah berqurban bergantung dengan kemampuan setiap orang. Apabila dia tidak mampu, maka tidak ada kewajiban sama sekali baginya untuk berqurban.  Namun, bagi orang yang memiliki kemampuan, terlebih dalam kemampuan harta, apakah dia wajib atau tidak ?

  1. Wajib. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Barang siapa mempunyai kelapangan harta, kemudian dia tidak menyembelih, maka janganlah mendekati tempat salat kami.” ([5])

Ini adalah bentuk penegasan dari Nabi ﷺ ‘Janganlah mendekati tempat salat kami’ yang menunjukkan bahwa hukumnya adalah wajib. Namun, jumhur ulama membantah pendapat ini.

  1. Sunah mu’akkadah. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum berqurban adalah sunah muakkadah, namun tidak sampai pada derajat wajib. Karena hadis yang menetapkan wajib adalah mauquf (perkataan sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)([6]). Apalagi ada sebagian sahabat yang menyengaja tidak berkurban. Padahal mereka memiliki harta yang lapang dan mampu untuk berkurban, seperti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu dan ‘Umar radhiallahu ‘anhu([7]). Disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa mereka pernah meninggalkan udhhiyah, sedangkan mereka memiliki kelapangan harta. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan kepada orang-orang agar mereka tahu bahwa hukumnya adalah sunah muakkadah dan tidak sampai pada derajat wajib.

Para ulama juga sepakat bahwa Rasulullah selalu berkurban. Bahkan, disebutkan oleh imam Bukhari bahwa ketika Rasulullah ﷺ sedang bersafar, beliau pun berkurban, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي البَقَرَةِ سَبْعَةً

“Kami pernah bersama Rasulullah dalam suatu safar, lalu tiba waktu ‘idul Adha, lalu kami bersekutu berjumlah 7 orang untuk berqurban satu ekor sapi.” ([8])

Apabila di dalam safar saja, Rasulullah ﷺ berkurban, apalagi selain waktu bersafar, maka hal itu lebih ditekankan lagi. Artinya hal ini menunjukkan perhatian Nabi ﷺ terhadap syiar ibadah ini, yaitu menyembelih karena Allah ﷻ.

Seseorang yang memiliki harta,  hendaknya berusaha menyembelih udhhiyah karena Allah ﷻ, karena ini merupakan ibadah yang sangat agung sebagaimana faedah yang telah disebutkan sebelumnya.

Syarat-Syarat Udhhiyah

Di antara syarat-syarat udhhiyah adalah sebagai berikut:

  1. Harus dari jenis بَهِيْمَةُ الأَنعَام (hewan ternak).
    Allah ﷻ menyebutkan

عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ

“Atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak.” (QS. Al-Hajj: 34)

Hewan ternak untuk udhhiyah hanya ada tiga jenis, yaitu unta, sapi dan kambing. Kambing ada dua macam, yaitu الضَّأنُ (domba) dan الْمَاعِزُ (kambing). Apabila seseorang ingin berkurban kuda, ayam atau hewan selain yang disebutkan tersebut, maka tidak akan diterima, karena bukan termasuk dari udhhiyah.

  1. Umur
    Adapun batas umur udhhiyah yang dibolehkan untuk disembelih adalah sebagai berikut:

    1. Unta harus mencapai 5 tahun.
    2. Sapi harus mencapai 2 tahun. Jika ada sapi yang umurnya kurang dari 2 tahun hendak dijadikan sebagai udhhiyah, maka tidak sah. Oleh karena itu, baik bagi orang-orang yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat dalam pelaksanaan penyembelihan udhhiyah maupun penjual hewan kurban, hendaknya mereka bertakwa kepada Allah. Jangan sampai karena ingin mencari uang semata, akhirnya menjual sapi atau hewan ternak lainnya yang belum mencapai umur yang ditetapkan untuk disembelih. Meskipun hewan tersebut sangat gemuk dan berisi, tetapi umurnya kurang dari yang ditentukan, maka udhhiyah tersebut tidaklah sah.
    3. Kambing harus mencapai umur 1 tahun, sedangkan domba berumur 6 bulan.

Barang siapa menyembelih udhhiyah tersebut kurang dari batas umur yang telah ditentukan, maka tidak sah.

Orang yang telah diberikan amanah dalam penyembelihan udhhiyah/qurban, hendaknya selalu berhati-hati dalam hal ini, jangan sampai dia berlaku tidak amanah  dengan mencari dan membelikan udhhiyah tanpa memperhatikan umur-umur hewan tersebut. Jika hal itu sengaja dilakukan, maka dia benar-benar berbuat sesuatu yang membahayakan bagi orang lain, karena dengan perbuatannya tersebut menjadikan ibadah tidak diterima oleh Allah ﷻ.

Bisa saja dia mendapatkan pahala berupa hewan sesembelihan, lalu disembelih dan dagingnya dibagikan kepada orang lain, tetapi bukan menjadi udhhiyah, karena hewan tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagai udhhiyah/hewan qurban.

  1. Selamat dari aib/cacat. Di antara aib/cacat tersebut ada yang menjadikan udhhiyah menjadi tidak sah dan ada juga yang sah. Aib/cacat yang menjadikan udhhiyah tidak sah adalah:
    – الْعَوْرَاء الْبَيِّن عَوَارُهَا (hewan yang jelas buta satu matanya).
    – العَرْجَاء الْبَيِّن عَرَجُهَا (hewan yang pincang dan jelas kepincangannya).
    – الْعَجْفَاء الَّتِي لَا تُنْقِي (hewan yang kurus dan tidak ada sumsum tulangnya).
    – الْمَرِيْضَة الْبَيِّن مَرَضُهَا (sakit yang jelas sakitnya).

Inilah di antara aib-aib yang ada pada hewan udhhiyah. Apabila hewan ternak tersebut memiliki salah satu aib/cacat itu dan jelas aib/cacatnya, maka hewan tersebut tidak sah untuk menjadi udhhiyah. Bahkan, jika cacat tersebut lebih parah dari itu. Artinya apabila salah satu mata hewan tersebut buta, maka tidak diperbolehkan untuk menjadi udhhiyah, terlebih lagi jika yang buta adalah kedua matanya. Begitu juga dengan hewan yang pincang salah satu kakinya, maka tidak diperbolehkan untuk menjadi udhhiyah. Apalagi jika salah satu kakinya terputus.

Udhhiyah tersebut tetap dinyatakan sah, apabila aib/cacatnya kecil atau tidak jelas. Seperti hewan yang buta sebelah matanya, namun masih bisa melihat atau salah satu kaki hewan tersebut pincang, namun masih bisa berjalan, maka hal ini dibolehkan, dikarenakan aib/cacatnya tidak terlalu jelas.

Hal ini sangat baik diketahui oleh orang-orang yang hendak menyembelih, penjual maupun panitia penyembelihan udhhiyah. Hendaknya mereka berhati-hati dalam masalah ini. Apabila mereka mengelola dengan baik dan benar dengan memperhatikan syarat-syaratnya, maka mereka akan mendapatkan pahala, karena membantu dan memudahkan kaum muslimin untuk berkurban. Akan tetapi, jika tidak berhati-hati dan tidak memperhatikan syarat-syaratnya, maka mereka akan membawa dosa, karena menyembelih hewan qurban yang tidak sesuai dengan syarat-syaratnya.

Apabila hewan tersebut tidak sesuai dengan syarat-syaratnya, namun telah disembelih, maka orang yang berqurban telah mendapatkan pahala sedekah, tetapi bukan pahala udhhiyah.

Aib/cacat pada udhhiyah yang diperselisihkan oleh para ulama.

  • Telinga berlubang, robek, terbelah atau putus.

Jumhur ulama mengatakan bahwa apabila telinga hewan qurban tersebut hilang lebih dari setengah, maka udhhiyah tersebut tidak sah. Akan tetapi, jika yang hilang hanya sedikit, maka diperbolehkan.

Sebagian ulama berpendapat bahwa apabila telinganya hilang maka hal itu dimakruhkan selama tidak ada aib/cacat yang jelas pada hewan tersebut. Apabila udhhiyah tersebut disembelih, maka tetap sah, meskipun tidak disukai.

  • Hewan tersebut tidak memiliki pantat, sebagaimana sebagian kambing, yang pantatnya dipotong.

– Sebagian ulama mengatakan bahwa tidak diperbolehkan menjadikan hewan tersebut sebagai udhhiyah.

– Sebagian ulama yang lain membolehkan. Alasannya adalah justru hewan yang seperti itu merupakan hewan yang baik, karena dengan tidak ada pantatnya, maka hewan tersebut menjadi gemuk dan banyak dagingnya. Ini adalah pendapat yang benar.

  • Ekor hewan tersebut putus atau tanduknya pecah atau semisalnya. Yang benar dalam hal ini adalah tidak menjadi masalah apabila dalam hewan-hewan tersebut ditemukan dengan cacat sedemikian rupa. Menurut sebagian ulama karena aib/cacat tersebut tidak berkaitan dengan daging hewan udhhiyah. Jadi, hewan tersebut tetap sah menjadi udhhiyah

Aib/cacat yang diperselisihkan ini, tentunya banyak perbedaan dengan aib/cacat yang jelas terlihat cacatnya. Seperti hewan yang buta, hal itu akan mengakibatkannya susah berjalan dan susah untuk mencari makan dan mempengaruhi kelayakan tubuhnya, begitu juga dengan hewan yang pincang kakinya atau kurus dan sakit-sakitan.

  • Hewan yang dikebiri.

Hewan ternak yang dikebiri, baik unta, sapi maupun kambing masih diperbolehkan untuk menjadi udhhiyah menurut pendapat yang lebih kuat, karena justru hewan yang telah dikebiri membuat tubuhnya semakin baik untuk disantap. Adapun dalil dibolehkannya menjadikan hewan yang dikebiri sebagai udhhiyah adalah hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ، اشْتَرَى كَبْشَيْنِ   عَظِيمَيْنِ، سَمِينَيْنِ، أَقْرَنَيْنِ، أَمْلَحَيْنِ([9]) مَوْجُوءَيْنِ

“Sesungguhnya Rasulullah apabila hendak menyembelih hewan qurban, maka beliau membeli dua ekor kambing yang besar, gemuk, bertanduk, bercampur antara putih dengan hitam dan dikebiri.” ([10])

Hanya saja para ulama membedakan antara الْمَوْجُوْء dan الْمَجْبُوْب.([11]) Para ulama membolehkan jika aib/cacatnya adalah al-mauju’. Akan tetapi jika aibnya berupa al-majbu’, maka para ulama tidak membolehkannya sebagai udhhiyah, karena dianggap aib/cacat yang parah.

  1. Waktu penyembelihan hewan qurban
  • Permulaan waktu penyembelihan

Waktu menyembelih hewan qurban dimulai setelah selesai salat ‘idul Adha dan tidak harus menunggu khutbah. Barang siapa yang menyembelih sebelum salat ‘idul Adha, maka kambingnya adalah kambing biasa, bukan sebagai hewan qurban.

Dalilnya adalah sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma

خَطَبَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الأَضْحَى بَعْدَ الصَّلاَةِ، فَقَالَ مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا، وَنَسَكَ نُسُكَنَا، فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ، وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ، فَإِنَّهُ قَبْلَ الصَّلاَةِ وَلاَ نُسُكَ لَهُ، فَقَالَ أَبُو بُرْدَةَ بْنُ نِيَارٍ خَالُ البَرَاءِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنِّي نَسَكْتُ شَاتِي قَبْلَ الصَّلاَةِ، وَعَرَفْتُ أَنَّ اليَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ، وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِي أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِي بَيْتِي، فَذَبَحْتُ شَاتِي وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِيَ الصَّلاَةَ، قَالَ: شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ

“Nabi menyampaikan khutbah pada hari raya (‘idul Adlha) setelah melaksanakan salat. Beliau bersabda: ‘Barangsiapa melaksanakan salat seperti salat kami dan melaksanakan manasik seperti manasik kami maka dia telah melaksanakan manasik (menyembelih kurban). Dan barangsiapa menyembelih kurban sebelum salat berarti dia malaksanakannya sebelum shalat, dan berarti dia belum melaksanakan manasik (berkurban)’. Abu Burdah bin Niyar, paman Al-Bara’, berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih dua ekor kambing sebelum salat, dan yang aku ketahui bahwa hari ini adalah hari kita bergembira dengan makan dan minum. Dan aku menyukai bila dua ekor kambingku itu menjadi yang pertama disembelih di rumahku lalu aku memasaknya dan menikmatinya sebelum aku berangkat untuk salat!’ Beliau bersabda, ‘Kambingmu adalah kambing yang disembelih untuk diambil dagingnya (bukan daging kurban).” ([12])

Waktu permulaan yang benar dimulainya menyembelih hewan kurban adalah setelah selesai dari salat ‘idul Adha. Apabila orang yang melaksanakan salat ‘idul Adha berjumlah banyak, maka hendaknya mereka mengikuti salat yang ditegakkan paling dahulu. Apabila ada seorang imam salat yang selesai terlebih dahulu dari salat ‘idul Adha, maka dibolehkan untuk menyembelih hewan kurban tersebut.

Perbedaan ‘idul fitri dan ‘idul Adha

Oleh karenanya, di antara perbedaan antara ‘idul adha dan ‘idul fitri adalah dibolehkannya menunda pelaksanaan salat ‘idul fitri, agar orang-orang masih memiliki kesempatan untuk membayar zakat fitrah, sedangkan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang paling utama adalah sebelum imam mendirikan salat ‘idul fitri. Sebaliknya, pada waktu pelaksanaan salat ‘idul Adha disunahkan untuk menyegerakannya di awal waktu, agar orang-orang segera menyembelih dan menyantap sesembelihan tersebut. Ini adalah ijma’ para ulama.

  • Akhir Waktu penyembelihan

Para ulama khilaf dalam masalah waktu terakhir penyembelihan hewan qurban.

Pertama, Sebagian ulama mengatakan bahwa akhir waktu penyembelihan udhhiyah adalah pada tanggal 12 Dzulhijjah, yaitu hari tasyriq yang kedua.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa akhir penyembelihan udhhiyah adalah pada tanggal 13 Dzulhijjah, yaitu akhir dari hari tasyriq, sebelum matahari terbenam. Apabila matahari sudah terbenam, maka tidak diperbolehkan.

Penulis lebih condong kepada pendapat bahwa waktu penyembelihan adalah empat hari, yaitu pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah pada waktu sore hari sebelum matahari terbenam. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Nubaisyah Al-Hudzali radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Hari tasyriq adalah hari untuk makan dan minum.” ([13])

Jadi, dibolehkan bagi seseorang untuk menyembelih hewan qurban meskipun pada tanggal 13 Dzulhijjah. Adapun jika dia hendak menyembelih pada permulaan waktu dan lebih cepat, maka hal itu lebih baik.

Pertanyaan:

Bolehkah menyembelih pada waktu malam hari?

Jawaban:

Ada khilaf di kalangan para ulama.

– Sebagian ulama mengatakan bahwa menyembelih udhhiyah hanya dibolehkan pada waktu siang hari, apabila disembelih pada malam hari, maka penyembelihan tersebut tidak sah.

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)

Artinya agar orang-orang mengingat Allah ﷻ di hari-hari yang diketahui atas hewan ternak yang mereka sembelih. Di dalam ayat ini Allah ﷻ menyebutkannya dengan أَيَّامٍ yang bermakna siang hari.

– Adapun sebagian ulama yang lain berpendapat dimakruhkan menyembelih udhhiyah pada waktu malam hari.

– Ada juga pendapat yang lain, seperti Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad  menyebutkan bahwa lafaz أَيَّامٍ menurut bahasa arab mencakup waktu siang dan malam. ([14])

Barang siapa mampu menyembelih pada waktu siang hari sebelum matahari terbenam, maka hal itu lebih baik. Barang siapa yang menyembelih pada waktu malam hari, maka diperbolehkan([15]).

Hikmah penyembelihan pada siang hari

Adapun di antara hikmah menyembelih udhhiyah pada waktu siang hari adalah untuk menampakkan syiar ’idul Adha, menampakkan syiar tauhid, sehingga banyak orang yang menyaksikan hewan kurban yang disembelih karena Allah ﷻ.

Adapun mengenai ketepatan tanggal 10 Dzulhijjah, maka hal itu tergantung kepada keputusan masing-masing negeri.

Hewan Utama Untuk Udhhiyah

Urutan udhhiyah yang paling utama adalah sebagai berikut:

  1. Satu ekor unta untuk 1 orang.
  2. Satu ekor sapi untuk 1 orang.
  3. Satu ekor kambing untuk 1 orang.
  4. Satu ekor unta untuk 7 orang.
  5. Satu ekor sapi untuk 7 orang.

Hukum asalnya adalah demikian. Secara umum ketika seseorang berkurban dengan seekor kambing, maka hal itu lebih baik dari pada tujuh orang yang berkurban dengan seekor unta maupun sesekor sapi. Namun, sebagian ulama memiliki cara pandang yang berbeda. Mereka mengatakan bahwa dalam masalah menyembelih terdapat dua ibadah, yaitu:

  1. Hewan sembelihan
  2. Sedekah dagingnya. Apabila ditinjau dari pahala ibadah menyedekahkan daging ini, maka hal itu lebih disukai oleh orang banyak, karena manfaatnya yang banyak. Seperti sapi, merupakan hewan yang banyak dagingnya, sehingga banyak orang yang mengambil manfaat darinya. Oleh karenanya, semakin berat dan gemuk hewan tersebut, maka semakin baik, karena semakin banyak daging yang bisa dibagi-bagikan.

Akan tetapi, para ulama khilaf apakah lebih baik berqurban dengan seekor kambing atau seekor unta. Sebagian ulama berpendapat bahwa berkurban dengan seekor kambing lebih utama, karena Nabi ﷺ selalu berqurban dengan seekor kambing. Selain itu. Landasan mereka adalah karena Nabi ﷺ selalu mengamalkan sesuatu yang terbaik. Namun, sebagian ulama lain membantah pendapat tersebut bahwa sejatinya Nabi ﷺ memberikan contoh yang termudah, sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ketika Nabi ﷺ berbicara tentang pahala bersegera dalam salat jumat, beliau ﷺ bersabda,

مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الجُمُعَةِ غُسْلَ الجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ، فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً

“Barang siapa yang mandi sebagaimana mandi junub pada hari jumat, kemudian datang (salat jumat), sekaan-akan dia telah berqurban dengan unta, barang siapa yang datang pada waktu yang kedua, seakan-akan dia telah berqurban dengan sapi.” ([16])

Hadis ini menunjukkan bahwa hewan qurban yang paling utama adalah berkurban dengan satu ekor unta.

Hukum Bagi Mudhahhi (Orang yang Menyembelih)

Di antara hukum berkaitan bagi orang yang menyembelih adalah dibolehkan baginya التَّشْرِيْك (berkongsi/share).

  1. Berkongsi/bersekutu untuk daging sesembelihan.

Hal ini berlaku pada sapi dan unta. Dibolehkan menyembelih satu ekor sapi atau unta untuk tujuh orang. Adapun kambing hanya dibolehkan untuk satu orang.

Dalam suatu kasus misalnya ada satu kelompok yang berjumlah 5 orang hendak menyembelih udhhiyah berupa satu ekor sapi atau unta. Ketika udhhiyah tersebut sudah disembelih, lalu ada dua orang yang hendak bergabung dalam penyembelihan udhhiyah tersebut agar lengkap menjadi 7 orang, maka hal ini tidak diperbolehkan. Namun, selama udhhiyah tersebut belum disembelih, maka dibolehkan bagi orang lain untuk bergabung pada penyembelihan udhhiyah, yang tadinya 5 orang menjadi 7 orang.

  1. Berkongsi/bersekutu pahala udhhiyah

Tidak ada batasan sama sekali bagi siapa saja yang hendak berkongsi pahala penyembelihan udhhiyah. Orang yang menyembelih hewan qurban diperolehkan untuk mengikutkan pahala qurban tersebut dengan keluarga, kerabat, teman atau orang-orang yang masih hidup, sebagaimana dibolehkan juga mengikutkan pahala untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ضَحَّى اشْتَرَى كَبْشَيْنِ سَمِينَيْنِ أَقْرَنَيْنِ أَمْلَحَيْنِ، فَإِذَا صَلَّى وَخَطَبَ النَّاسَ أَتَى بِأَحَدِهِمَا وَهُوَ قَائِمٌ فِي مُصَلَّاهُ فَذَبَحَهُ بِنَفْسِهِ بِالْمُدْيَةِ، ثُمَّ يَقُولُ: اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ أُمَّتِي جَمِيعًا مِمَّنْ شَهِدَ لَكَ بِالتَّوْحِيدِ وَشَهِدَ لِي بِالْبَلَاغِ ، ثُمَّ يُؤْتَى بِالْآخَرِ فَيَذْبَحُهُ بِنَفْسِهِ وَيَقُولُ: هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ

“Sesungguhnya Rasulullah apabila hendak menyembelih hewan qurban, maka beliau membeli dua ekor kambing yang besar, bertanduk, bercampur antara putih dengan hitam. Ketika beliau selesai salat dan berkhutbah kepada manusia, maka beliau mendatangi salah satu dari keduanya, sedangkan beliau berdiri di tempat salat beliau, lalu beliau sendiri menyembelihnya dengan pisau, kemudian berdoa, ‘Ya Allah, ini dari umatku seluruhnya yang bersaksi kepada-Mu dengan tauhid dan bersaksi kepadaku dengan penyampaian (risalah)’, kemudian didatangkan kambing yang lain, lalu beliau menyembelihnya, seraya berdoa, ‘Ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad’.” ([17])

Keluarga Nabi ﷺ ada yang masih hidup dan ada juga yang sudah meninggal dunia. Di antara keluarga beliau yang telah meninggal dunia adalah Khadijah, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan anak-anak beliau yang lain. Selain itu, di antara keluarga beliau yang masih hidup adalah Fathimah radhiyallahu ‘anha.

Dibolehkan bagi seseorang yang menyembelih hewan qurban mengatakan, ‘Ya Allah, sesembelihan ini untukku dan kedua orang tuaku atau keluargaku’. Dengan melakukan hal ini, maka dia telah bersekutu pahala untuk keluarganya, kerabatnya ataupun orang lain.

Pertanyaan:

Apa hukum menyembelih untuk orang yang sudah meninggal dunia, seperti untuk kedua orang tua yang sudah meninggal dunia?

Jawaban:

Yang seharusnya diperhatikan dalam masalah ini adalah bahwa Nabi ﷺ tidak pernah mencontohkan bahwa beliau ﷺ secara khusus menyembelih untuk Khadijah radhiyallahu ‘anha. Akan tetapi, beliau ﷺ menyembelih agar pahalanya untuk beliau sendiri dan untuk keluarga beliau, termasuk di antaranya adalah Khadijah radhiyallahu ‘anha.

Sejatinya hukum asal pahala menyembelih hewan qurban adalah untuk orang yang masih hidup, bukan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Apabila pahala tersebut untuk orang yang menyembelih sendiri dan keluarganya atau orang lain yang sudah meninggal, maka diperbolehkan. Akan tetapi, apabila pahala udhhiyah tersebut dikhususkan untuk orang yang telah meninggal dunia, maka terdapat khilaf di kalangan ulama. Sebagian ulama membolehkan([18]), sedangkan sebagian yang lain tidak membolehkannya. Sebagian mereka berpendapat sunah, dan sebagian yang lain berpendapat tidak sunah, dan bahkan bid’ah, karena Nabi ﷺ tidak pernah mencontohkannya. Tentunya, agar seseorang selamat dari masalah khilaf seperti kasus ini, bagi orang yang ingin menyembelih agar pahalanya sampai kepada orang tuanya yang telah meninggal, hendaknya dia menyembelih dengan menyebutkan bahwa udhhiyah tersebut untuk dirinya dan orang tuanya, keluarganya ataupun yang semisalnya.

Salah satu pengecualian dalam masalah ini adalah apabila orang yang sudah wafat tersebut selama hidupnya pernah berwasiat kepada keluarganya supaya sebagian hartanya digunakan untuk ibadah qurban, maka ulama sepakat membolehkan hal ini. Hal itu disebabkan adanya wasiat yang dulu pernah dia tinggalkan selama hidupnya.

Aturan-Aturan Bagi Mudhahhi

Larangan dalam hadis ini dimulai sejak memasuki malam satu bulan Dzulhijjah. Apabila telah tiba hari terakhir dari bulan Dzulqa’dah, maka sejak terbenamnya matahari pada hari itu telah masuk malam pertama dari bulan Dzulhijjah, dan bagi orang yang berniat untuk berqurban tidak diperbolehkan untuk memotong kuku, rambut atau bulu-bulu yang ada pada tubuhnya hingga hewan qurbannya disembelih. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda,

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ([19]) شَيْئًا

“Jika telah masuk sepuluh (dari bulan Dzulhijjah), sementara salah seorang dari kalian hendak menyembelih (hewan qurban), maka janganlah mengambil sedikitpun dari rambut dan tubuhnya.([20])

Barang siapa yang telah menyembelih udhhiyahnya, maka diperbolehkan baginya memotong kuku, rambut ataupun bulu-bulu pada tubuhnya. Oleh karenanya, jika ada seorang mudhahhi yang mewakilkan orang lain, sedangkan keduanya berada di tempat yang berbeda, maka hendaknya dia berhati-hati dalam masalah ini, dengan menanyakannya kepastian penyembelihan udhhiyahnya kepada orang yang diwakilkannya tersebut.

Barang siapa yang berniat menyembelih hewan qurban pada saat pertengahan awal dari bulan Dzulhijjah (misalnya tanggal 5 atau 6 Dzulhijjah), maka sejak waktu niat tersebut dia harus menahan diri dari larangan-larangan tersebut. Pada masa tersebut, selama seseorang belum berniat untuk berqurban, maka tidak berlaku larang-larangan tersebut baginya. Larangan ini hanya berlaku bagi orang yang menyembelih hewan qurban. Adapun, bagi orang yang termasuk dalam golongan yang berkongsi pahala udhhiyah, maka larangan tersebut tidak berlaku bagi mereka.

Pertanyaan:

Apabila dalam satu keluarga memiliki harta atau kemampuan untuk menyembelih hewan qurban, misalnya masing-masing anggota keluarga menyembelih satu ekor sapi, apakah hal ini disunahkan?

Jawaban:

Apabila mereka semua termasuk di dalam satu keluarga atau mereka memiliki kemampuan karena nafkah dari satu orang (ayah), maka disunahkan untuk menyembelih udhhiyah dengan diwakilkan kepada satu orang saja, misalnya dengan menyembelih udhhiyah berupa satu atau 10 kambing untuk satu keluarga. Nabi ﷺ tidak pernah memerintahkan masing-masing anggota keluarganya untuk menyembelih udhhiyah. Namun, beliau ﷺ menyembelih udhhiyah mewakili anggota keluarga beliau ﷺ. Maka dari itu, yang disunahkan dalam hal ini adalah seorang kepala keluarga menyembelih hewan qurban untuk mewakili semua anggota keluarganya, baik dengan satu maupun dua ekor kambing ataupun kelipatannya.

Apabila masing-masing dari anggota keluarga ingin menyembelih udhhiyah dan mempunyai kemampuan untuk melakukannya, maka dibolehkan baginya untuk menyembelih udhhiyah tersebut, tetapi hal itu bukanlah termasuk dari sunah. Namun, apabila dalam satu rumah terdapat dua keluarga, sedangkan masing-masing memiliki pendapatan sendiri, maka dibolehkan bagi masing-masing dari mereka untuk menyembelih udhhiyah atau berkurban, karena sumber pemasukan dua keluarga tersebut berbeda.

Adab-adab Dalam Menyembelih Udhhiyah

  1. Menyembelih dengan cara Nahr dan Dzabh([21])
    – Unta dengan dinahr.
    – Selain unta, yaitu sapi dan kambing adalah didzabh
  2. Menghadap kiblat. Tata cara menyembelih unta adalah sebagai berikut:
    – Unta dinahr dalam kondisi berdiri.
    – Menghadapkan sisi tubuh bagian kanan unta atau organ yang akan disembelih ke arah kiblat, sehingga darah yang keluar mengucur ke arah kiblat. Allah ﷻ berfirman,

    وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

    “Dan unta-unta itu Kami jadikan untuk-mu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makanlah orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj: 36)

    – Kaki kiri unta bagian depan diiqal, artinya kakinya dilipat dan diikat

    Adapun sapi dan kambing disembelih dalam kondisi berbaring pada bagian lambung bagian kiri, sehingga perut dan lehernya menghadap kiblat. berdasarkan hadis Nabi ﷺ,

    ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ، فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا، يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ، فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ

    “Nabi  berqurban dengan dua ekor domba yang bercampur antara warna putih dan hitam. Aku melihat beliau meletakkan kaki beliau di leher hewan tersebut, kemudian membaca basmalah dan bertakbir.” ([22])

    Tentunya, yang lebih baik adalah menyembelih dengan tangan kanan. Namun, dikecualikan bagi الْأَعْسَرُ, yaitu orang yang menyembelih dengan tangan kirinya. Apabila ada orang yang tidak bisa menyembelih, kecuali dengan tangan kirinya, maka hendaknya memposisikan hewan udhhiyah tersebut berlawanan arah dari posisi yang pertama, yaitu memposisikan hewan tersebut dengan kondisi berbaring pada lambung bagian kanan, sehingga perut dan lehernya menghadap kiblat.

  1. Yang dipotong ada empat urat,

Yaitu dua urat nadi, tenggorokan, dan kerongkongan. Selain itu, leher udhhiyah tidak boleh terputus saat penyembelihan. Setelah terputus empat urat saluran tersebut hingga darah mengucur, maka udhhiyah tersebut dibiarkan hingga terdiam dan tidak langsung dikuliti. Apabila hewan yang telah disembelih tersebut langsung dikuliti, dikhawatirkan akan merasa kesakitan. Mungkin saja di antara hikmahnya adalah agar darah udhhiyah tersebut keluar secara keseluruhan dan itu lebih baik, sehingga aman dan menghindarkan dari berbagai madharat saat dimakan.

  1. Menggunakan pisau yang tajam

Berdasarkan hadis Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah radhiallahu ‘anhu,

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ

“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya salah seorang dari kalian mempertajam pisau dan menenangkan sembelihannya.”([23])

Barang siapa yang tidak pandai dalam menyembelih, hendaknya tidak menjadikan udhhiyah tersebut sebagai bahan percobaan atau permainan. Apabila dia hendak latihan untuk menyembelih, hendaknya dibimbing oleh seseorang yang sudah ahli dalam penyembelihan hewan

  1. Tidak memperlihatkan hewan lain yang hendak disembelih

Bagi orang yang menyembelih, hendaknya memperhatikan perasaan hewan dan tidak membuatnya takut maupun gelisah.

وَالشَّاةُ إِنْ رَحِمْتَهَا، رَحِمَكَ اللَّهُ

“Kambing itu jika kau mengasihinya, maka Allah akan mengasihimu.” ([24]

  1. Menyebut nama Allah atau mengucapkan (بِاسْمِ اللهِ)
    – Mengucapkan tasmiyah ini merupakan syarat dan barang siapa dengan sengaja tidak mengucapkannya, maka penyembelihan tersebut tidak sah. Apabila orang yang menyembelih lupa mengucapkannya, maka terdapat khilaf dalam masalah ini. Sebagian ulama berpendapat sah, dan sebagian yang lain berpendapat tidak sah.
    – Selain itu mengucapkan tasmiyah, disunahkan juga untuk mengucapkan takbirبِاسْمِ اللهِ وَالله أَكْبَرُ

    اَللّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ

    اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّيْ

    Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha besar

    Ya Allah, ini dariku untuk-Mu

    Ya Allah, terimalah (qurban) dariku

    – Hendaknya seseorang mengucapkanya ketika dia sudah meletakkan pisau pada leher hewan yang hendak disembelih dan mulai menggerakkan pisau tersebut untuk menyembelih.

    Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah ﷺ berdoa ketika menyembelih,

    بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ، ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

    “Ya Allah, terimalah (sembelihan ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.” ([25])

    Begitu juga dengan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi ﷺ menghadapkan kedua hewan qurbannya ke arah kiblat tatkala menyembelihnya dan beliau ﷺ  berdoa:

    إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمٰوَاتِ وَاْلأَرْضَ عَلَى مِلَّةِ إِبْرَاهِيْمَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، اَللّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ بِاسْمِ اللهِ وَالله أَكْبَرُ ثُمَّ ذَبَحَ

    “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi di atas agama nabi Ibrahim yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku termasuk orang-orang menyerahkan diri (kepada Allah). Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu dari Muhammad dan umatnya, dengan nama Allah (aku menyembelih) dan Allah Mahabesar’, kemudian beliau menyembelihnya.” ([26])

Daging Udhhiyah

  1. Tidak boleh dijual. Barang siapa yang berkurban atau menyembelih hewan qurban, maka dia tidak boleh menjual daging udhhiyah Namun, apabila dia telah memberikannya kepada orang yang membutuhkan, lalu orang tersebut menjualnya, maka yang seperti ini diperbolehkan.
  2. Tidak boleh diberikan sebagai upah tukang jagal/sembelih. Tidak diperbolehkan bagi orang yang menyembelih atau orang yang diberikan kepercayaan untuk mengurusi udhhiyah, seperti panitia kurban, untuk memberikan sedikitpun daging udhhiyah tersebut kepada tukang jagal. Meskipun itu hanya kulit dari udhhiyah tersebut, maka hal ini tetap tidak diperbolehkan. Adapun jika daging atau kulit hewan qurban yang diberikan kepadanya sebagai hadiah, maka dibolehkan dengan syarat tidak mengurangi ongkos jasa jagal/sembelih. Apabila daging yang diberikan kepada tukang jagal sebagai hadiah, namun mengurangi ongkos jasa jagal tersebut, maka hadiah tersebut termasuk dalam ongkos jasa yang dibayarkannya.Misalnya: Tukang jagal membebankan ongkos jagal seharga 2 juta, lalu orang yang berqurban menawarnya dengan harga 1,4 juta, namun ditambah dengan beberapa daging/kulit hasil sembelihan udhhiyah. Contoh yang seperti ini tidak diperbolehkan, karena sejatinya daging/kulit udhhiyah yang diberikan kepada tukang jagal mengurangi ongkos jasa yang semestinya dibayarkannya.

Faedah yang dapat diambil dari masalah ini adalah:

  1. Bagi orang-orang yang diberikan kepercayaan untuk menangani penyembelihan hewan qurban, hendaknya meminta sejumlah biaya dari orang yang berqurban (mudhahhi) yang akan digunakan untuk ongkos penyembelihan atau hal-hal lainnya.
  2. Hendaknya dagingnya dibagi tiga, dengan pembagian sebagai berikut:- 1/3 disedekahkan, hukumnya adalah wajib([27]). Berdasarkan firman Allah ﷻ

    وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ

    “Dan berilah makanlah orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS. Al-Hajj: 36)

    Begitu juga dengan firman Allah ﷻ,

    فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

    “Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)

    – 1/3 dimakan sendiri. Dibolehkan bagi orang yang berkurban untuk mengambil 1/3 bagian dari daging hewan qurbannya. Baik untuk dimakan sendiri atau disedekahkan seluruhnya pun dibolehkan. Namun, disunahkan untuk dimakan sebagian atau secukupnya ataupun sepertiganya untuk mendapatkan keberkahannya. Oleh karenanya, Nabi ﷺ selesai dari salat ‘idul Adha mengambil jatah beliau terlebih dahulu untuk beliau makan.

    – 1/3 dihadiahkan

    Setiap orang yang memiliki niat untuk berqurban hendaknya memperhatikan aturan-aturan dan cara-cara kesehatan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para ahli di bidang kesehatan, terutama jika hari raya ‘idul Adha pada masa pandemi. Di samping itu, orang-orang yang diberikan kepercayaan dalam masalah udhhiyah hendaknya memberikan cara yang aman dan terbaik sehingga mampu menghindarkan wabah dari kaum muslimin. Adapun tata cara dan hukum-hukum seputar udhhiyah tidaklah berbeda, baik di masa pandemi ataupun tidak.

________________________________

Footnote:

([1]) Sebagian ulama, seperti Hanabilah ada yang mengategorikan pembahasan ini di dalam kitabul Haj, sedangkan kebanyakan Syafi’iyah membahasnya di akhir kitab fiqh ketika membahas tentang kitabul Ath’imah.

([2]) Sebagaimana di dalam riwayat hadis berikut ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَفْرِهُوا ضَحَايَاكُمْ، فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلَى الصِّرَاطِ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah  bersabda, ‘Perbaguslah hewan qurban kalian, karena dia akan menjadi tunggangan kalian melewati sirath’.”

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ad-Dailami dari jalur Ibnu Al-Mubarak, dari Yahya bin ‘Ubaidillah bin Mauhab, dari ayahnya, dari Abu Hurairah dan meriwayatkannya dari Rasulullah ﷺ. Adapun perawi yang bernama Yahya dha’if jiddan (lemah sekali). Lihat: At-Talkhis Al-Habir Li Ibnu Hajar 4/251

Di antara ulama yang mengomentari hadis ini adalah Ibnu Al-Mulaqqin, berkata,

لَا يَحْضُرُنِيْ مَنْ خَرَّجَهُ بَعْدَ الْبَحْثِ الشَّدِيْدِ عَنْهُ

“Aku tidak mendapatkan perawi yang telah meriwayatkannya, meskipun sudah dicari dengan sangat gigih.” (Al-Badr Al-Munir 9/273)

Ibnu Shalah mengatakan,

حَدِيْثٌ غَيْرُ مَعْرُوْفٍ، وَلَا ثَابِتٍ فِيْمَا عَلَّمْنَاهُ

“Hadis ini tidak dikenal dan sepengetahuan kami tidak sahih.” (Syarh Musykil Al-Wasith Li Ibnu Shalah 4/199)

Ibnu Al-‘Arabi berkata,

لَيْسَ فِي فَضْلِ الْأُضْحِيَّةِ حَدِيثٌ صَحِيحٌ

“Tidak ada hadis sahih yang menjelaskan tentang keutamaan udhhiyah.” (Tuhfatul Ahwadzi 5/63)

Al-Albani juga menghukuminya dha’if jiddan, karena status perawi yang bernama Yahya adalah dha’if, bahkan matruk (orang yang ditinggalkan hadisnya), dan yang lebih parah lagi sebagian ulama menyebutkan bahwa hadisnya adalah palsu. (Lihat: Silsilah Al-Ahadis Adh-Dha’ifah 6/208 no. 2688)

([3]) Sebagaimana di sebutkan didalam hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam berkata bahwa para sahabat berkata kepada Rasulullah r,

يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ؟ قَالَ: سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا: فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا: ” فَالصُّوفُ؟ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنَ الصُّوفِ، حَسَنَةٌ

“‘Wahai Rasulullah, apa maksud dari hewan-hewan qurban ini?’ Beliau bersabda, ‘Ini merupakan sunah bapak kalian, nabi Ibrahim’alahissalam, mereka berkata, ‘Apa yang kami dapatkan darinya, wahai Rasulullah?’ beliau bersabda, ‘Setiap helai rambutnya adalah satu kebaikan’. Mereka berkata, ‘lalu bulu-bulunya, wahai Rasulullah?’, beliau bersabda, ‘Setiap helai bulu-bulunya adalah satu kebaikan’.” (H.R. Ibnu Majah no. 3127 dan Ahmad no. 19283 sanadnya dha’if jiddan -lemah sekali-. Di antara perawinya terdapat Abu Dawud, yaitu Nufai’ bin Al-Harits dari Kufah, statusnya adalah matruk -yang ditinggalkan hadis-hadisnya-, sedangkan ‘Aidzullah Al-Mujasyi’i adalah perawi dha’if)

Al-Bukhari mengatakan tentang Al-Mujasyi’i bahwa hadisnya tidak sahih. Abu Hatim berkata, ‘Perawi yang munkar hadisnya’. Ibnu Hibban berkata, ‘Dia meriwayatkan hadis-hadis munkar yang tidak boleh berhujjah dengannya’. (Al-Badr Al-Munir Li Ibnu Al-Mulaqqin 9/274)

([4]) H.R. Ibnu Majah no. 3126

([5]) H.R Ahmad no. 8273 dan Ibnu Majah no. 3123 dan dihasankan oleh Al-Albani

([6]) Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar

حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا أَخْرَجَهُ بْنُ مَاجَهْ وَأَحْمَدُ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ لَكِنِ اخْتُلِفَ فِي رَفْعِهِ وَوَقْفِهِ وَالْمَوْقُوفُ أَشْبَهُ بِالصَّوَابِ

“Hadis Abu Hurairah yang disandarkan kepada Nabibahwa ‘Barang siapa mempunyai kelapangan harta, kemudian dia tidak menyembelih, maka janganlah mendekati tempat salat kami’ diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ahmad dengan para perawi tsiqah. Namun, diperselisihkan periwatannya dari Nabi ataukah sahabat dan yang tampak lebih benar dari perkataan sahabat (Abu Hurairah t).” (Fathul Bari Li Ibnu Hajar 3/10)

Jadi, penyandaran hadis di atas yang benar adalah dari perkataan sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bukan perkataan Rasulullah ﷺ.

([7]) Redaksi atsarnya adalah sebagai berikut:

رُوِيَ عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ: أَنَّهُمَا كَانَا لَا يُضَحِّيَانِ عَنْ أَهْلِهِمَا م

Artikel asli: https://firanda.com/4272-fiqih-qurban-di-masa-pandemi.html